Sastra Kampung Rasa Eropa

Sastra Kampung Rasa Eropa

Senin, 29 Juli 2013

Teror Ramadhan

Menu Buka Puasa kami dan tokoh Muda "fatchan Himami hasan'
Suatu senja, saya tengah menunggu buka puasa bersama Kang Fatchan (Fatchan Himami Hasan). Sebelum berbuka puasa, kami berbincang seputar Ramadan. Tokoh muda yang menawan hati ini bertanya kepada saya; apa yang memberatkan di bulan puasa ini. Lalu, dia menyampaikan bahwa berbuka jika menuruti nafsu makan, semua akan dimakan. Padahal, tuturnya lagi, rasanya sama saja, yakni kenyang, katanya sembari tersenyum tipis. Saya tertarik dengan kata-kata Kang Fatchan ini, yakni "rasa yang sama". Seberapa banyak dan selezat apa pun yang kita makan, tujuannya sama yakni kenyang dan untuk hidup. Saya lalu ingat pepatah lama, "Makan untuk hidup. Bukan hidup untuk makan". Perbincangan kami berlanjut hangat dan sublim di malam bulan puasa, di antara suara corong-corong masjid yang merobek telinga.

Bulan Ramadan bagi kaum muslimin, baik yang menjalani puasa maupun yang tak menjalani, membawa pada atmosfer spiritual yang menggetarkan sekaligus tradisi yang, boleh jadi, menakutkan. Tradisi itu tak lain adalah persiapan berlebaran dengan sejumlah uang saku dan busana baru. Di situ, gairah konsumeris melonjak ke tingkat yang mengerikan. Menjadi teror. Mereka yang mampu mempersiapkan segala sesuatunya untuk berlebaran akan mudah saja mengeluarkan uang untuk kebutuhan diri, anak-istri, keluarga. Tapi di situ pula, yang tidak mampu akan berupaya keras, bahkan 'ngutang', untuk memenuhi kebutuhan menyambut lebaran. Aksi kriminalitas yang sudah canggih dan terang-terangan meningkat justru di bulan Ramadan. Kecelakaan pun terjadi di mana-mana lantaran mudik dijadikan 'syarat wajib puasa' bagi pemudik.

Saya menemukan sebentuk ironi. Ramadan yang diharapkan Tuhan membentuk jiwa kita untuk peka terhadap nilai ketuhanan dan segala persoalan manusia pada muara "rasa yang sama" (yang dalam istilah agama disebut iman), berubah menjadi ladang 'pembantaian' terhadap kearifan diri. Orang membeli di luar batas kemampuan diri, orang mempersiapkan menu buka puasa sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, sekelompok orang yang 'sok Islam' melakukan sweeping tempat-tempat hiburan, penutupan lokalisasi, rumah-rumah makan. Pemerintah juga ikut sibuk menutup lokalisasi dengan gairah yang ganjil dan 'sok suci. Kita telah kehilangan sikap mengayomi sesama, apa pun agama dan etnisnya, sehingga menghilangkan "rasa kemanusiaan yang sama" yang seyogianya kita temukan dalam puasa. Lupa bahwa sejatinya puasa adalah "al-imsak", yakni menahan, yang gampangnya omong ialah mawas diri. Sedangkan corong-corong pengeras berteriak-teriak membangunkan orang untuk bersahur. Padahal, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa kewajiban agama akan gugur terhadap tiga jenis manusia, yakni gila, mabuk (tak sadarkan diri), orang tidur. Sejauh seseorang berada dalam keadaan tidur, ia tidak dibebani agama. Mekanisme tidur dan bangun dari tidur telah ditentukan Tuhan dalam metabolisme tubuh manusia. Tidak ada alasan membangunkan orang tidur supaya bersalat, bersahur yang sunnah, kecuali jika terdapat sebab yang “genting” menurut agama yang disebut 'illat. Ada orang tua membangunkan anaknya untuk segera ke sekolah, 'illat-nya adalah menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi selama si anak berada di bawah tanggung jawabnya. Tetapi 'illat model begitu tak dapat dipukul rata. Mestilah terdapat penjagaan bagi yang tidak terkena kewajiban, misalnya orang sakit yang buruh tidur dengan tenang, jangan sikagetkan. Wanita dating bulan, tidak wajib sahur karena tidak wajib puasa. Orang yang berbeda agama, dll. Namun, kenapa yang tak terkena kewajiban harus diganggu? Bukankah perlu kita cari cara lain yang lebih arif daripada berteriak-teriak supaya orang-orang bangun untuk bersalat dan bersahur?

Ramadan telah menjadi teror dan trend iklan serta motivasi hidup yang menipu di media-media kita. Ustad-ustad di tivi mengupas puasa dalam ruangan mewah dengan makanan lezat. Mereka menawarkan pahala yang berlipat-lipat ganda dalam Ramadan dan ancaman kejam yang menakutkan bagi yang tak menjalani puasa tanpa sedikitpun diskon. Rasa berbagi dan "rasa kemanusian yang sama" antara satu sama lain menjadi hilang di dalam air liur para pendakwah dan penguasa. Ramadan yang adalah api untuk membakar sikap banalitas binatang kita sehingga memunculkan sejuknya atmosfir kebersaudaraan, berubah total menjadi teror. Dan hidup di dalam teror adalah ketakutan dan kegelisahan yang kelam.

Teror Ramadan itu masuk ke pasar, jalan raya, terminal. Mengancam orang-orang tak berdaya yang terhimpit di tepi keterasingan. Yang untuk membeli sepotong baju saja harus nyemplung sumur atau berkelahi berebut kesempatan di tengah rawannya hidup. Sedangkan yang mampu dan berkuasa, pemuka agama yang selebritis, tertawa riang sambil menyantap menu sahur dan buka yang nilainya setara dengan uang celengan setahun seorang calo kendaraan yang badannya dipenuhi tato ular dan wanita. Yang berkecukupan dan yang berkuasa tentu bahagia di bulan Ramadan, mereka mengklaim surga. Yang lemah menderita di ketiak kecongkakan, mereka dicap neraka dan dineraka-nerakakan.

Harry Roesli pernah menulis kejamnya teror. Namun, sekejam apa pun teror, pelakunya tetap tidak mau dicap teroris. Siapa yang menyelenggaran teror Ramadan ini, pasti tidak mau dicap teroris. Para ustad, penguasa, dan orang-orangdengan status materi melimpah, tapi tak pernah memunculkan "rasa kemanusiaan yang sama" tak lain adalah pelaku teror Ramadan. Teror Ramadan adalah ancaman, intimidasi, ketidakadilan, kesombongan, kebencian. Celakanya, para pengancam, para pelaku ketidakadilan, yang sombong dan yang membenci, tak pernah mengatakan tindakannya adalah teror. Mereka malah mengklaim tindakan mereka ialah tindakan suci.

Mempertahankan yang baik-baik dan menganjurkan yang baik-baik pula tidak akan membuat kita menjadi malaikat. Melakukan yang bejat-bejat dan menganjurkan kesesatan, tidak akan membuat kita menjadi iblis atau sapi. Manusia itu statis, sedangkan iblis dan malaikat adalah makhluk non-statis. Malaikat yang berdzikir, ia akan tetap berdzikir walau berada di tempat pelacuran yang becek dan kotor. Iblis yang berbusuk-busuk akan tetap berbuat busuk walaupun dia berada di dalam Ka'bah, masjid, gereja, pura atau di mana pun tempat kebaikan. Dan manusia bisa jauh melampaui kedua makhluk non-statis itu, yang jika mulia ia melampaui kemuliaan malaikat paling mulia. Namun, jika busuk ia melampaui busuknya dedengkotnya iblis sekalipun, bahkan sapi. Manusia yang tahu fitrahnya akan membangkitkan naluri dan semangat melawan ketidakadilan dan pembodohan. Ia tahu bagaimana melayani penderitaan sesamanya dan mengerti bagaimana merawat kebahagiaan sesamanya, yang dirinya sendiri bahkan rela dikorbankan. Mencapai kehidupan yang wajar, membela hidup yang layak dan membela hidup bersama. Kata Nabi Muhammad; "Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi sesamanya". Puasa yang benar, saya kira akan membawa kita pada kesadaran ini.

Sejauh tak muncul "rasa kemanusiaan yang sama" terhadap sesama dalam apa pun berbedaan status dan golongan, maka "puasa cuma lapar-dahaga belaka," kata Rasul. Cuma trend kepura-puraan jaman dan jauh dari nilai keimanan. Meneror kemanusiaan. Teror adalah ketakutan dan ancaman. Tapi, kata Roesli, ada teror yg mengenyangkan, yakni teror goreng atau teror asin. Juga ada teror yang membuat manusia bergoyang riang berdendang, yaitu teror-rejing.. terorjing-terorjing-terorjing. Hadapilah teror. Jangan terlalu banyak makan, awas bahaya kolesteror! Selamat puasa..


Banyuwangi, 2013
 — bersama Fatchan Himami Hasan dan 5 lainnya.