Sastra Kampung Rasa Eropa

Sastra Kampung Rasa Eropa

Kamis, 06 Juni 2013

Kematian Sang Ustad

Konon menurut keterangan dalam agama Islam, orang yg meninggal di hari Jumat, orang tersebut meninggal di "hari surga". Diyakini ia masuk surga tanpa kerepotan. Menurut keterangan dalam agama Islam pula, orang yg meninggal lalu jenazahnya disalatkan oleh minimal 40 orang, maka jenazah tersebut dijamin surga. Untuk keterangan lengkapnya, Ustad Gus Nandi (KH. Sunandi Zubaidi, Badean, Banyuwangi) atau Gus Ali Mahfud mungkin bisa menjelaskan sumber-sumber akuratnya dari agama Islam.

Kematian Ustad Uje (Jerry al-Buchori) masuk dalam kriteria "mati masuk surga" di atas. Beliau meninggal dengan amat cepat, tak terduga, dan 'pas' di hari Jumat. Kemudian jenazahnya disalatkan ribuan manusia, diantarkan ke pembaringan terakhir di TPU Karet Tengsi oleh ribuan manusia. Jalanan macet. Polisi lalu lintas sibuk mengatur beludak manusia. Kematian yg menggetarkan, indah, lezat, dan konon ditandai dengan awan berbentuk orang sedang berdoa di langit. Orang-orang begitu mencintai sang ustad, Ustad Uje yg bersahaja. Profilnya baik di hadapan publik, keluarganya "sakinah wa waddah wa rohmah" dan tidak berpoligami, mendakwahkan ajaran agama Islam di televisi. Ibu-ibu, bapak-bapak, kaum muda dan remaja mendengarkan dakwah sang ustad serta meresapi nada suaranya yg merdu melantunkan selawat dan ayat suci memanggil jiwa untuk kembali kepada Tuhan sang maha pencipta. Begitulah kematian orang baik dan bertakwa. Tidak sama dan jangan disamakan dengan kematian seorang pelacur, misalnya. Alih-alih mati di hari Jumat, disalatkan oleh lebih dari 40 orang, dan ada tanda awan berdoa, ada yg mau ngubur saja untung. Tidak sama pula dengan matinya seorang maling, umpama, tidak indah sama sekali. Mati dikeroyok massa. Mengenaskan. Dan orang pun mengkategorikan kematian pelacur dan maling dalam kategori "mati ke neraka" atau "mati yg hina".

Kematian sang ustad, Ustad Uje, yg dicintai jama'ahnya karena berdakwah Islam dan mengisi relung hati yg sunyi itu, mengingatkanku pada beberapa kisah nun dulu kala, tapi tidak dulu-dulu kala amat.

Saya ingat kematian Leo Tolstoy di stasiun kereta, sepi, dan jenazahnya ditutupi kertas. Tolstoy yg meletakkan teladan dan peradaban di Rusia dan pengaruhnya mencerahkan dunia. Saya ingat kematian Fariduddin Attar, seorang sufi agung yg ahli farmasi, beliau wafat karena dipenggal oleh tentara Mongol karena dianggap pemberontak. Saya ingat kematian seorang kiai di dusun saya, disalatkan oleh para santrinya, ketika jenazah diberangkatkan ke pembaringan terakhir, hujan turun sederas-derasnya hingga pemakaman ditunda ke keesokan harinya.

Lalu saya ingat kematian Pak Damin dalam kisah "Kiai Nyentrik Membela Pemerintah". Di sebuah dusun, hiduplah seorang kiai salaf yg berpengaruh. Dia bersabda: "Orang yg tidak salat dan tidak puasa, tidak menjalankan rukun Islam, jenazahnya tidak wajib diurus. Dia termasuk kafir!".

Tak ada satu pun warga di dusun itu yg berani menentang sabda sang kiai berpengaruh, dipatuhi, dan teguh memegang ajaran agama dengan keimanan yg mengerikan ini. Hingga suatu waktu, entahlah kenapa suatu waktu, datanglah pendatang bernama Pak Damin ke dusun itu mengunjungi kemenakannya. Usia Pak Damin sudah tua. Dia tinggal di rumah kemenakannya di dusun itu hampir sebulan. Selama sebulan, dia baik pada tetangga, dia dengan sigap mengantar anak tetangga yg sakit dini hari ke dokter dan dia mengeluarkan biaya berobat dengan semua uang kebutuhannya. Tulus sekali Pak Damin membantu orang lain tanpa peduli pada kebutuhannya sendiri. Dan Pak Damin adalah orang yg tidak beragama, dia aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yg Maha Esa.

Pada pagi itu, Pak Damin meninggal dunia. Tepat di hari Jumat. Para tetangga tidak berani mengurus jenazahnya, mereka takut pada sabda kiai yg mengharamkan mengurus jenazah orang tidak menjalankan rukun Islam, apalagi tidak beragama seperti Pak Damin. Walaupun para tetangga merasa ingin mengurus jenazah Pak Damin karena kebaikan dan pengorbanan Pak Damin yg sangat banyak kepada para tetangga selama hidupnya. Keluarganya pasrah menunggu saudara dari jauh datang untuk mengurus jenazah.

Kabar kematian Pak Damin sampai ke telinga kiai dusun yg dengan keimanan yg mengerikan itu.

"Kenapa tidak kalian urus jenazah Pak Damin itu? Dia mati tepat hari Jumat, "hari surga", dia mati khusnul khatimah. Ayo segera!" kata kiai. Rupanya kiai belum tahu bahwa Pak Damin adalah orang yg tak beragama. Setelah dimakamkan, kiai pun berpidato.

"Saudara-saudara, Pak Damin wafat di hari Jumat, disalatkan oleh hampir seribu warga dusun. Beliau khusnul khatimah dan masuk surga. Terima kasih," kata kiai.

Semua orang pulang. Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, seseorang menghampiri kiai, berbisik: "Kia, Pak Damin itu gak beragama".

"Apa?!" kia terperanjat, mematung menganga.

Angin menjelang salat Jumat mengelus leher kiai kita dengan lembutnya. "Astaghfirullah. Ampuni hamba. Ampuni Pak Damin," gumam kiai pelan,dan tak ada siapa pun yg mendengar.

Taufiq WR.
Muncar, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar