Sastra Kampung Rasa Eropa

Sastra Kampung Rasa Eropa

Kamis, 06 Juni 2013

Doa Kiai dan Aduan Anjing

Bagi mereka memang yg rajin membaca buku-buku hikmah kisah sufi, kisah ini mungkin sudah mudah ditebak jalan ceritanya. Sudah bisa menebak, oke. Tapi, jangan coba-coba menyufikan diri demi tujuan pandai menebak dan meramal. Hal itu akan membuat Anda dianggap dukun. Menjadi dukun, oke jugalah. Sebab, Dukun adalah kepanjangan dari "Enek Duwit Rukun" alias Seberat Apa Pun Persoalan, Ada Uang Aman, Beres, Bersih, Rapi, Beriman dan Berahmat Serta Bertakwa Kepada Tuhan Yg Maha Esa, Aman dan Sentosa, Berbahagia Selama-lamanya. Maaf kalau kepanjangan dari singkatan tersebut memang kepanjangan.

Dahulu kala, dan Anda tidak diperbolehkan menuntut saya supaya menyebutkan hari apa, tanggal dan bulan berapa, tahun berapa, dan jam berapa tepatnya kejadian ini. Itu sama saja Anda melakukan interogasi.

Nah dahulu kala, walau tidak kala-kala amat, seorang kiai yg saleh, alim dan beriman berjalan sendirian. Anda tidak perlu cerewet dg membuat pertanyaan konyol meledek; kenapa sendirian, Pak Kiai? Emang lagi patah hati nih? Misalnya. Itu namanya mengejek orang saleh. Anda bisa kuwalat! Yg jelas kiai kita ini berjalan sendirian, dan tidak perlu dipersoalkan karena itu bukan hak, tugas, dan wewenang Anda.

Memang bertele-tele. Tapi, sudahlah.

Sang kiai mengenakan jubah putih, berserban putih, memegang tasbih, dahinya ngecap hitam kayak distempel, jarinya memutar tasbih. Ini ciri-ciri penting seorang kiai, ustad, ulama', atau syekh. Kalau tidak memiliki ciri-ciri seperti ini, bukan kiai, ustad, ulama', atau syekh. Misalnya pakai baju hitam dan kuning doreng, pakai udeng hitam, celana hitam atau celana jins, dahinya tidak terdapat "stempel" hitam, ini 'kan ciri-ciri dukun, Enek Duwit Rukun.

Di sepanjang jalan kiai saleh ini berdzikir memutar tasbihnya. Jubahnya robek di bagian ujung menunjukkan kemiskinan. Ciri penting orang saleh biasanya memang miskin, karena kalau kaya raya itu ciri-ciri da'i kondang di tivi-tivi atau merangkap sebagai politisi. Kemudian siapa yg dapat mencegah takdir? Tak ada! Seekor anjing mencegat sang kiai. Jalanan sepi. Anjing itu menggonggong keras. Sang kiai menghentikan langkahnya. "Astaghfirullah! Ini bukan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Ini benar-benar menggonggong marah," gumam sang kiai menghentikan langkahnya. Dzikir tak henti dari bibirnya segawat apa pun keadaan yg tengah di hadapi. Ini ciri orang saleh dan beriman serta berukun Islam dan berukun-rukun yg lain. Sang kiai melanjutkan langkahnya pelan-pelan. "Ya Allah, dosa apa hamba sehingga Engkau buka rahasia kesalehanku pada seekor anjing? Ampuni hamba, ampuni anjing ini, dan mohon selamatkan hamba dari gangguan jin dan manusia serta anjing. Amin," doa sang kiai. Anjing makin keras menyalak, lalu dg tangkasnya anjing itu menggigit ujung jubah sang kiai sampai robek. Sang kiai kaget. "Anjing sial! Pergi kamu! Pergi! Dasar anjing selokan!".

Ajaib! Anjing itu berhenti menyalak-nyalak, menundukkan kepala, menjauh, kemudian berlari dan menghilang di kejauhan.

Di kejauhan, di tempat sepi, anjing selokan itu duduk. Dia menangis. Anda sama sekali tidak saya perbolehkan nyeletuk; anjing kok bisa nangis? Saya harap Anda diam!

Anjing menangis lalu mengadu kepada Tuhan. "Ya Allah, kenapa kiai itu marah dan mengusir hamba?" ujarnya dg bahasa anjing. Dan yg mengerti bahasa anjing adalah Nabi Sulaiman, jadi Anda jangan protes. Tak diduga, terdengar suara dari langit sebagai jawaban Tuhan terhadap pengaduan seekor anjing itu. "Kiai itu marah dan mengusirmu karena kau telah mencegat dan menggigit jubahnya hingga robek."

Anjing terperanjat dan mencari-cari sumber suara yg diyakininya suara Tuhan. Anjing menjawab dg kalem: "Ampun, Ya Allah. Bukankah dia seorang kiai yg saleh, berilmu, dan beriman kepada-Mu. Semestinya dia 'kan sudah pandai dan mampu mengendalikan amarahnya. Masak diledek anjing hina kayak aku saja sudah marah?" ujar anjing.


Taufiq WR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar